Jumat, 05 Mei 2017

Lagu Kutai Kalimantan Timur "Aku Menyanyi"





Lagu Rakyat Kalimantan Timur
Kutai Kartanegara "Aku Menyanyi"

 Nyanyian rakyat adalah karya seni yang memiliki makna tertentu yang terdapat di wilayah Nusantara, nyanyian rakyat tersebut muncul dan populer sebagai salah satu seni di berbagai suku-suku di wilayah Nusantara. Istilah seni selalu berkaitan dengan keindahan. Seni adalah penciptaan segala hal atau benda yang karena keindahan bentuknya orang senang melihat dan mendengarnya, membuat seni merupakan wujud ekspresi dari suatu ide atau gagasan.
            Melalui seni musik banyak hal yang bisa kita dapatkan mulai dari ciri khas alunan musik daerah tersebut, suasana bahkan keadaan alam yang ada di daerah itu, aktivitas masyarakat dan lain-lain. Berikut ini adalah sedikit pengetahuan saya mengenai nyanyian rakyat yang beberapa lirik di lagu tersebut sangat kental menggambarkan suasana alam nyanyian itu berasal tentunya dengan menerjemahkan beberapa lirik yang khas menggunakan bahasa Kutai “Aku Menyanyi” lagu khas Kalimantan Timur yang berasal dari suku Kutai lagu yang sangat indah dengan lirik musiknya di iringi alunan nada-nada merdu.

Aku Menyanyi
Endak endaklah mendi endaklah mendi panasnya hari
Mendi mendi dibatang mendi di batang airnya keroh
Gubang gubang tambangan gubang tambangan membawa jukut
Jukut nyaman dipanggang nyaman dipanggang gangganya terong

Lagu ini lagu mainan, lagu ini lagu sindiran
Jangan heran etam mendengar
Lagu ini lagu mainan, lagu ini lagu sindiran
Hibur hati dengar aku menyanyi

Wadakleh urang seberang urang seberang menggangan asam
Namun etam di sini etam disini manggangan kacang
Putih bunga melati bunga melati harum baunya
Setangkai  kupetik aduh sayang tinggal daunnya

Lagu ini lagu mainan, lagu ini lagu sindiran
Jangan heran etam mendengar
Lagu ini lagu mainan, lagu ini lagu sindiran
Hibur hati dengar aku menyanyi

Terjemahan:
Mau maulah mandi mau mandi panas sekali hari
mandi mandi dibatang mandi di batang airnya keruh
perahu perahu tambangan perahu tambangan membawa ikan
ikan enak dipanggang enak dipanggang sayurnya terong

ini lagu lagu mainam, ini lagu lagu sindiran
Jangan heran kita mendengar
ini lagu lagu mainan, ini lagu lagu sindiran
Hibur hati dengar aku menyanyi

aduhai orang seberang orang seberang bikin sayur asam
Namun kita di sini kita disini bikin sayur  kacang
Putih bunga melati bunga melati harum baunya
Setangkai kupetik aduh sayang tinggal daunnya
 ini lagu lagu mainan, ini lagu lagu sindiran
Jangan heran kita mendengar
ini lagu lagu mainan, ini lagu lagu sindiran
Hibur hati dengar aku menyanyi.

“Mendi-mendi di batang” jika di perhatikan dari lirik lagu ini sangatlah menggambarkan suasana di tempat tersebut. Kalimantan Timur yang kita bahas ini adalah daerah yang sumber daya alamnya sangatlah melimpah terutama hutannya, dan sungai terpanjangnya yaitu Sungai Mahakam. Lirik ini secara tidak langsung menggambarkan aktifitas dan lingkungan di daerah Kaliamntan Timur khususnya mereka yang tinggal di pesisir atau ditepi sungai Mahakam khususnya Suku Kutai. Bahari, orang-orang yang tinggal ditepi sungai Mahakam  sering bahkan sudah menjadi rutinitas mandi dipinggiran sungai Mahakam diatas batang-batang  yang menjadi pondasi belakang rumah.
            Dahulu anak-anak mereka pun mandi di pinggiran sungai berenang  sembari bermain di atas batang-batang kayu yang hanyut di sungai, dahulu pemandangan ini sangatlah mudah untuk di dapatkan namun tidak untuk zaman sekarang. Kalimantan terutama Kalimantan Timur adalah salah satu penghasil kayu terbesar di Indonesia itulah sebabnya dipinggiran sungai Mahakam sangat banyak sekali batang-batang kayu pohon hanyut bahkan menepi di pinggiran sungai, salah satu bukti bahwa Kalimantan adalah penghasil kayu terbesar di Indonesia dengan berdirinya perusahaan kayu ternama yaitu “Kalimanis” perusahaan plywood terbesar di Kalimantan itu diresmikan langsung oleh presiden  ke-2 Indonesia  yaitu Bapak Soeharto.
            Perusahaan ini diresmikan pada tanggal 01 Agustus 1977, perusahaan kayu asal Amerika yang dikenal dengan George Pasific (GP) yang kemudian diambil alih oleh regim orde baru , dan di ubah nama menjadi PT. Kalimanis.

            “Gubang gubang tambangan” dialiri sungai yang sangat panjang orang dahulu menggunakan perahu dalam aktivitas kesehariannya disungai Mahakam, mulai untuk mencari ikan, alat transportasi untuk menyeberangi sungai dan lain-lain. Sebagai alat untuk menahan perahu pada saat menepi di pinggiran sungai di gunakan tali yang lumayan besar ukurannya biasa disebut tali tambang, sepintas menurut saya itulah asal mula dari nama perahu atau alat transportasi sungai Mahakam yang hingga kini kami kenal dengan sebutan Tambangan. Seiring perkembangan zaman alat transportasi ini semakin berkurang peminatnya bahkan banyak penduduk sekitar yang dahulu menjadikan tambangan ini sebagai mata pencaharian beralih ke pekerjaan lain karena beberapa faktor. Antara lain: berkurangnya masyarakat yang ingin menggunakannya, pembangunan jalan darat yang semakin lama semakin berkembang di dukung dengan adanya transportasi darat yang seiring waktu makin banyak bermunculan dan semakin mahalnya bahan bakar minyak yang digunakan untuk mesin tambangan.
            “Gubang tambangan membawa jukut” kita medapatkan setidaknya sedikit gambaran di zaman bahari masyarakat Kalimantan Timur terutama yang tinggal di pesisir sungai Mahakam  sering melaukan berbagai aktivitas di sungai, mulai dari menangkap ikan untuk kebutuhan sehari-hari atau untuk kebutuhan ekonomi. Semakin kuat dugaan saya bahwa lagu ini di ciptakan oleh masyarakat Kalimantan Timur yang bermukim atau tinggal di pesisir sungai Mahakam. Karena dari beberapa lirik menggambarkan bahkan bisa dikaitkan dengan sungai mulai dari jukut (ikan), tambangan (perahu),  air keroh (air yang keruh), mendi (mandi) di batang, dan urang seberang (orang seberang) yang menunjukkan jarak wilayah yang dibatasi oleh sungai karna besebrangan dan dipisahkan oleh sungai Mahakam.
            Jika mendengar lagu ini sungguh hanya ada rasa riang gembira dalam alunan nada lirik lagunya seperti orang yang sedang menghibur diri dengan menyanyi sembari melihat aktivitas-aktivitas di pesisir sungai menikmati alam sekitar alam warga pesisir sungai Mahakam.





 Referensi:

Margono Try Edi, Aziz Abdul. 2010. Mari Belajar Seni Rupa. Jakarta: Pusat Perbukuan.

Selasa, 25 April 2017

PENGADILAN PUISI OLEH PAMUSUK ENESTE



                                 
                                                     PENGADILAN PUISI
                                                             OLEH PAMUSUK ENESTE


pengadilan puisi adalah suatu perbincangan tentang karya sastra(puisi) Indonesia yang di bahas dengan agak lebih santi, penuh lelucon namun serius. Pengadilan pusi ini di bentuk karena kemajemuan penyelenggara kegiatan sastra, yang monoton dari bentuk seminar, simposium, dan diskusi panel.
 Pengadilan puisi diselenggarakan oleh Yayasan Arena dan diadakan di Aula Universitas Patahyangan, Bandung, 8 September 1974 dan diikuti oleh sejumlah pengarang di Indonesia. Dalam acara ini Slamet Kirnanto yang bertindak sebagai “Jaksa” membicarakan “tuntutan” nya yang berjudul “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-akhir Ini Tidak sehat, Tidak Jelas Dan Berengsek!”
Menurut Sapardi Djoko Damono, gagasan asli Pengadilan Puisi datang dari Darmanto pada tahun 1970 dan dimaksudkan sebagai badutan. Pada tahun 1972, Darmanto mengumumkan gagasannya itu dalam karangan yang berjudul “Tentang Pengadilan Puisi”  di sebuah harian Jakarta. Dan pada tahun 1974 ggasan itu bisa diwujudkan  di Bandung, dalam Pengadilan Puisi ini Damanto bertindak sebagai “Hakim Anggota”.
Hadirnya Pengadilan Puisi ini adalah salah satu dari ketidakpuasan terhadap kehidupan puisi Indonesia pada saat itu, yang menyangkut: 1. Sistem penilaian terhadap puisi Indonesia, 2. Kritikus sasatra Indonesia, 3. Media yang memuat karya Sastra Indonesia, dan 4. Beberapa penyair Indonesia yang dianggap “mapan”.
Mereka yang banyak disebut-sebut dalam Pengadilan puisi di Bandung. Karena, dianggap “Bertanggung Jawab” terhadap kehidupan puisi Indonesia sengaja diundang  untuk berbicara dalam Jawaban Atas Pengadilan Puisi yang diselenggarakan Senat Mahasiswa Fakultas Sastra Indonesia Universitas Indonesia di Teater Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta, 21 September 1974. Sebuah acara kelanjutan dari Pengadilan Puisi di Bandung. Dalam acara ini, H. B. Jassin, M.S. Hutagalung, Goenawan Mohammad,  dan Sapardi Djoko Darmono “menjawab” tuduhan-tuduhan yang dilontarkan Slamet Kirnanto kepada mereka.
Dengan dibukukannya bahan-bahan mengenai Pengadilan Puisi dab Jawaban atas Pengadilan Puisi, paling sedikit kita memperoleh dua keuntungan. Pertama, terisilah sudah salah satu tempat yang selama ini  lowong dalam sejarah Indonesia dengan adanya buku ini, kita tidak perlu lagi kehilangan jejak. Kedua, mereka inginmengetahui seluk-beluk peristiwa tahun 1974 itu tidak perlu lagi bursusah payah mencari bahan ke sana kemari
Pada pertengahan Agustus 1974, melalui Sutardji Calzoum Bahri, Taufik Ismail menerima undangan dari Ketua Yayasan Arena Djen Amar S.H., untuk membaca sajak di Bandung dan mengikuti suatu kegiatan sastra, 8 September 1974. Dalam interlokal itu Sutardji menyebut-menyebut tentang bentuk “Pengadilan Puisi” tapi tidak jelas bagaimana itu.
Harian Kompas 4 September 1974 menyiarkan acara baca puisi di Bandung, yang di kabarkan akan disertai penyair-penyair Bandung (Wing Kardjo, Sanenot Yuliman, Saini K.M., Sutardji) dan luar kota, yaitu Muhammad Ali  (Surabaya), Darmanto Jr (Semarang), Umbu Landu Paranggai (Yogyakarta), Taufik Ismail dan Slamet Kirnanto (Jakarta). “Selama pembacaan puisi juga akan diadakan Pengadilan Puisi” tulis Kompas. “Yaitu penilaian terhadap puisi Indonesia modern, yang ditulis oleh penyair-penyair kita.” Acara ini terbuka untuk umum.
Dua jam sebelum acara dimulai, penyelenggara Djen Amar dan Sanento Yuliman menjelaskan apa yang dimaksud Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir itu. rupanya kawan-kawan di Bandung ingin mencari suatu bentuk lain dalam membicarakan kesusastraan, dalam hal puisi. Bentuk seminar symposium, diskusi panel dianggap terlau majemuk. Bagaimana kalau dicari suatu bentuk yang tidak majemuk lucu tapi bersungguh-sungguh. Menurut gagasan Darmanto, bentuk peradilan bisa memenuhi persyaratan.
Slamet Kirnanto dijadikan jaksa. Majelis hakim terdiri dari dua orang, yaitu Hakim Ketua Sanento Yuliman, didamping Hakim Darmanto Jt. Para hakim sudah duduk  (meja mereka ditutupi beledu hijau tapi tidak ada palu sidang, jadi pakai batu dibungkus Koran), dihadiri 200 orang di Aula Universitas Parahyangan.
Slamet Kirnanto membacakan tuntuttannya, yang diluar dugaaan “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-akahir Ini Tidak Sehat, Tidak Jelas Dan Berengsek!”
Dakwaan itu merupakan sebuah kejengkelan terhadap keberadaan kritik puisi, terhadap kritikus M.S. Hutagalung dan H.B. Jassin, terhadap penjagoan Subagio Sastrowardoyo oleh MSH serta penjagoan W.S. Rendra oleh HBJ, karena tidak dibicarakannnya Sutardji Calzoum Bahri dan Darmanto Jt yang dianggap membawa “gejala pembaharuan” oleh MSH dan HBJ, dan juga Horison yang “tidak mampu lagi menjalankan peranan penuh tanggung jawab”, “terjerumus menjadi majalah keluarga”, tempat tumbuh suburnya para epigon-epigon seperti Abdul Hadi.
Tuntutan berbunnyilah pertama, para kritikus yang tidak mampu lagi mengiuti perkembangan puisi mutakhir, khususnya HBJ dan MSH, harus “dipensiunkan” dari pernan yang pernah mereka miliki. Kedua, majalah sastra, khususnya Horison. Ketiga, para penyair mapan seperti Subagio, Rendra, Goenawan dan sebangsanya dilarang menulis puisi dan para epigonnya harus dikenakan hokum pembuangan, keempat dan terakhir, horizon dan Budaya Jaya harus dicabut STI nya dan yang sydah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku. Ini semua didasarkan atas “Kitab Undang-undang Hukum Puisi”.
Saksi ada dua macam, yang memberatkan dan yang meringankan tuduhan terhadap pesakitan golongan partama adalah Sutardji, Sudes Sudyanto, Abdul Hadi dan Pamusuk Eneste, kemudian golongan kedua, Saini K.M., Wing Kardjo, Adri Darmadji dan Yudhistira Ardi Nugroho.
Sutardji memberikan kesaksian, bahkan dia akan mengadakan acara pembakaran Horison majalah “diktator” ini. Sebagai kuicng lucu juga pertunjukan kesaksiannya. Abdul Hadi, yang menurut surat kabar Bandung akan menyerang Goenawan (menurut jaksa Slamet Kirnanto berita itu dibuat hadi sendiri), ternyata tidak melakukannya. Menurut Hadi sastra Indonesia buruk, belum sebagus sastra Jawa Kuno. Dia menganjurkan agar orang-orang baca sastra Jawa Kuno. Sides beranggapan bahwa sesudah Chairil tidak ada puisi ditulis lagi di Indonesia. Atas pertanyaan pembela mengenai apa yang dinamakan “siatusi berengsek dan tidak jelas” dalam persajkan dewasa ini. Adri dan Yudhistira berpendapat bahwa “puisi Indonesia baik-baik dan sehat-sehat saja badannya”.
Hakim darmanto menolaksemua tuntutan jaksa pertama, para kritikus sastra tetap di izinkan untuk menulis dan mengembangkan eksistensinya. Dengan catatan harus segera mengikuti kursus penaikan mutu dalam sekolah kritikus sastra, yang akan segera didirikan.
Kedua, para redaktur horizon tetap diizinkan terus memegang jabatan mereka selama mereka tidak merasa malu dan bila ingin mereka boleh mengundurkan diri dengan sendirinya.
Ketiga, para penyair mapan diizinkan masih diberi peluang untuk berkembang terus. Begitu juga dengan para penyair epigon boleh menulis terus dengan keharusan segera masuk Panti Asuhan atau Rumah Sakit Perawatan Epigon.
Keempat, majalah sastra Horison tidak perlu dcabut surat izin terbitnya, hanya dibelakang nama harus disertakan kata “Baru” sehingga menjadi Horison Baru masyarakat luas tetap boleh membaca sastra dn membaca puisi. Demikian keputusan Majelis Hakim.
Slamet Kirnanto menyampaikan semakin tidak sehatnya kehidupan sastra Indonesia khususnya kehidupan puisi Indonesia yang menurut pengamatannya puisi Indonesia mengalamu polusi bahkan manupilasi-manipulasi sehingga mengakibatkan tidak sehatnya puisi Indonesia, tidak jelas dan ujung-ujungnya menjadi brengsek.
Harry Aveling menyatakan bahwa Darmanto dan Sutardji Calzoum Bachri memang tidak memuaskan lapisan para pembaca sastra Indonesia. Keduanya menentang cara dan pokok menulis yang sudah biasa bagi penulis Indonesia. Dan kedua-duanya sedang menolong mancarika jalan baru, jalan ke bawah sadar, yang mempercayai kekuatan perkataan dan keindahan manusia hancur. Manusia yang hidup dengan syahwatnya, kesengsaraannya, kematiannya, yang percaya manusia sendiri adalah Tuhan.
Terjadi perdebatan antara H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung yang dimana masing-masing dari mereka saling bersaing argumen bahwa penyair pilihan mereka adalah penyair yang terbaik pada saat itu. Jassin dengan W.S. Rendra sedangkan M.S. Hutagalung dengan Subagio Sastrowardoyo,.
Hutagalung berpendapat bahwa Subagio mempunyai tema lebihbkaya dengan kehidupan masa kini, kata Hutagalung, Subagio mengalami perkambangan yang mantap terlihat dalam terlihat dala kumpulan sajaknya Simphony, Daerah Perbatasan, dan Salju. Bagi Hutagalung sajak-sajak dari Subagio sangat mengasyikkan, mengagetkan, rumit dan selalu merangsang kita untuk lebih memahami.
Dalam kesempatan itu H.B. Jassin menolak keputusan anak didiknya itu, menurutnya penyair yg terkemuka dan paling keren di masa itu adalah W.S. Rendra. Dengan alasan bahwa Rendra berhasil menggunakan gagasan yang dalam, likuk-likuk kejiwaanya yang sulit diraba dan pikiran-pikiran yang tinggi dengan kata-kata sederhana dari kehidupan sehari-hari dan imaji-imaji yang kongkret. Jassin menjatuhkan penilainnya “sedangkan kalau say abaca sajak-sajak penyair lain , seperti Goenawan dan lain-lain saya selalu bertanya-tanya apa yang dimaksud dengan kata-kata atau pelukisan abstrak itu”.
Keduanya semakin ngotot dalam perdebatan dengan mempertahankan jagoan mereka masing-masing. Hutagalung mengemukakan keberatannya  tentang sajak-sajak Rendra, baginya sajak-sajak Rendra sering tergelincir dalam permainan kata yang terlalu manis dan bombastis, penggunan kata terlalu banyak sehingga tidak subtil, dalam sajaknya pula terlalu banyak klise-klise dari Bibel. Kedua hal tersebut dilihatnya dalam sajak Masmur Mawar dan Sajak-sajak Sepatu Tua.
Lalu beredar isu bahwa H.B. Jassin sedang mengumpulkan karya-karya dan informasi tentang Rendra dan ingin membuktikan bahwa Rendra adalah penyair terbesar saat itu.
Melihat hal ini Slamet Kirnanto pun mulai anggkat bicara, menurut Slamet “apakah pendapat mereka berdua sudah berdasarkan penelitian yang mendalam atas karya-karya sastra(puisi) yang ada sekarang atau hanya sekedar pikiran-pikiran ngaco saja, setelah kedua kritikus itu absen (Hutagalung-Jassin) ke negeri Belanda. Apakah kita harus menerima begitu saja ucapan mereka berdua karena lahir dari ucapan seorang sarjana?  Apakah mereka pada tahun-tahun terakhir ini sudah mengadakan penelitian secara menyeluruh atas karya-karya yang makin tersebar luas?”
“Mungkin Hutagalung hanya tergoda dengan tingkat intelektualitas yang dimiliki Subagio yang terbyang dalam sajak-sajaknya atau alasan sandaran-sandaran puisi yang sering dikemukkan penyairnya.” Sedangkan H.B. Jassin hanya tergoda oleh popularitas Rendra saja. Ujar Slamet Kirnanto.
Popo Iskandar , seorang pelukis senior , dosen IKIP Bandung, dan salah seorang anggota Akademi Jakarta perlu ikut berbincang tentang sajak-sajak Sutardji, setelah kemunculan penyair ini di Taman Ismail Marzuki dalam rangka pembacaan sajak-sajak menimbulkan polemik di kalangan luas, ia menyatakan “Sutardji merupakan pembaharuan dalam dunia puisi Indonesia dan sekaligus merupakan penyair bersama Rendra dan Taufik Ismail merupakan tokoh penyair Indonesia sekarang ini. Walaupun dirinya tidak bisa menjadi yang paling besar diantara ketiga ini”.
 Bagaimanapun juga, mesdkipun sastra kita cukup dewasa untuk dinilai, diuji ataupun dicurigai namun, cara-cara yang dilakukan oleh Hutagalung dan Jassin dalam debat penyair nomer wahid itu menunjukkan mandeknya pemikiran dalam mengikuti perkembangan kehidupan puisi Indonesia mutakhir. Tugas penyair adalah mencipta. Hanya dengan mencipta teru-menerus penyair akan menemukan dirinya. Tapi, penyair menulis puisi bukan hanya sekedar menulis lalu dimasukkan kedalam mapnya. Mereka menulis karna hasrat ingin berkomunikasi, dimana peran publik peminat sangat besar artinya.
Kalau demikian halnya nampak sekali bahwa kehidupan kepenulisan puisi tidak sekedar menulis dan menulis. Memperdalam tingkat kedewasaan dan kesenimanannya, orang dipaksa menggelarka semacam papan catur untuk meneguhkan mazhab, jalur, kepopuleran dan lain-lain. Dalam hal demikian pastilah kita kehilangan kewajaran dan objektivitas penciptaan. Orang dengan mudah bermanipulasi, megatasnamakan penyair termuka di Indonesia.
Gejala demikian jug nampak pada satu-satunya media sastra yang disebut Horison dan Budaya Jaya . tidak mampu lagi menjalankan perannya dengan penuh tanggung jawab, nama Horison yang pada awalnya menunjukkan suatu janji memberikan prasarana terbaik unruk tumbuhnya karya-karya sastra yang kreatif dan sehat, tiba-tiba terjerumus tiba-tiba terjerumus menjadi majalah keluarga. Menjadikan isi majalah menjadi selera mereka. Tanpa member kesempatan pada penyair-penyair lainnya.
Hal ini mengakibatkan banyaknya penyair-penyair epigon dimana mereka mengikuti gaya-gaya penulis lainnya tanpa mengutamakan cirri khas mereka sendiri tentu hal ini mengundang penciptaan situsi yang tidak sehat, adapun bahaya epigon sejak tulisan Subgio Sastrowardoyo “Situasi Sastra Puisi  Sesudah Tahun 45” pada saat itu banyak epigon-epigon bermuncul dengan meniruka gaya penulisan dari beberapa peyair yaitu Chairil, Sitor, Toto Sudarto dan Rendra hal ini dapat mengahambat perkembangan kreativitas.
Seorang sastrawan muda “Kentut” mengatakan Rendra atau Goenawan dan Taufik lebih dihebohkan atau di utamakan dari pada timbulnya gejala-gejala baru dalam karya sastra (puisi)  yang mungkin belum cukup dikenal oleh masyarakat umum. Dan hal seperti ini memungkinkan terhambatnya proses perkembangan sastra(puisi) modern.
Gejala kretivitas yang nampak pada  sardono dalam tari dan teater, Danarto dalam cerpen dan seni lukis, Putu Wijaya dalam roman, cerpen dan teater,. Sutardji dan Darmanto Jt dalam puisi mereka menghancurkan sekalian yang disebut poal lama  dan mampu menimbulkan respektif ke depan dalam ciptaanya. Sardono menggali Jawa Bali, Putu menggali elemen teater Bali dan teater rakyat pada umumnya, Darmanto mencoba menangkap roh dibalik kebekuan alam budaya Jawa, Danarto  menumbuhkan sikap rohani yang murni dan batin manusia yang berhadapan dengan hakikat ketuhanan, dan Sutardji menemukan kaitannya dengan “mantera” mereka tumbuh melawan arus epigonisme.
M.S. Hutagalung “pada dasarnya Pengadilan Puisi di Bandung tidak memberikan kesan kepada saya”. Menurut Hutagalung krirtikus yang disenanmgi banyak orang ialah kritikus yang hanya menyanjung-nyanjung semua pengarang. Dan ia bukanlah kritikus seperti itu seperti katanya dalam kutipan beriku”Dan syukurlah, saya belum masuk kritikus yang di senangi oleh banyak orang”.
M.S. Hutagalung sebenarnya sudah lama sering mengemukakan mengenai sajak-sajak Sutardji yang menurutnya sudah sangan bau apak, dalam hal ini Hutagalung bukan menghina beliau mengatakan bau apak karna kelambatan kritikus untuk membicarakan Sutardji.
Hutagalung berpendapat bahwa Sutardji lah yg sebenarnya adalah seorang epigon, “kalau Sutardji sempat melihat sajak-sajak kumpulan belanda ketika berada di Rotterdam, ia akan heran betapa melimpahnya dan betapa inflasinya pembuatan sajak-sajak seperti di lakukannya. Sajak-sajak Belanda jauh lebih gila lagi”. Sajak-sajak Sutardji sebenarnya bukanlah mode pembaharuan bagi Huatgalung, karna sajak-sajak itu menjadi mode sekarang tidak hanya di Belanda, tetapi diseluruh dunia.
 Ia mengemukakan bahwa H.B. Jassin tidak naik pitam, karna ia sangat mengenal Jassin sebagai sosok kritikus yang sangat toleran terhadap pendapat orang lain. Hutagalung sangat setuju dengan pendapat Cassirer bahwa seni bukanlah permainan. Seni adalah kesungguhan dan kedewasaan, dan itulah yang membedakannya dari permainan anak-anak. Sajak main-main dan aneh mungkin menarik perhatian, tetapi hanya untuk sementara  ia tidak akan langgeng. Seni main-main hanya mungkin menjadi seni pop, tidak mungkin menjadi seni abadi.

Selasa, 18 April 2017

Jejak Sang Leluhur




Minggu, 8 April 2017. Sesuai rencana yang telah kami sepakati bersama dosen pengampuh kami Dahri Dahlan, M. Hum. Salah satu dosen dari Universitas Mulawarman, Fakultas Ilmu Budaya. Dosen Sejarah kesusastraan Indonesia.
 Kami akan melakukan kunjungan ke sebuah makam, pagi itu  langit terlihat sangat cerah awan nampak indah dengan warna kebiruannya seakan pertanda bagi kami jika hari yang kami pilih itu adalah hari yang baik untuk melalukan kunjungn ke makam tersebut. Memang berat rasanya harus bangun di pagi hari, apalagi hari itu adalah hari libur. Yaa, bagi saya hari libur adalah hari yang sangat tepat untuk bermesraan dengan rasa ngantuk.
Tapi apa boleh buat itu adalah hari yang telah kami sepakati bersama untuk melakukan kunjungan ke makam tersebut, rekan-rekan saya yang tinggal di Samarinda kota telah sepakat akan berkumpul di Fakultas Ilmu Budaya bersama dosen kami dan melakukan perjalanan tepat pada pukul 09.00 WITA.
 Saya bergegas bangun lebih cepat dari hari libur biasanya. Karna rumah saya tidak terlalu jauh dari makam tersebut maka saya tidak ikut berkumpul bersama di kampus. Berbagai rutinitas pagi hari saya lakukan di rumah, saya lakukan sebelum berangkat. Waktu telah menunjukkan pukul 08.30 WITA saya yang telah siap segera bergegas menuju lokasi makam, berangkat lebih cepat agar tidak terlambat tiba di lokasi.
Makam ini berlokasi di JL.Mas Penghulu Kelurahan Mesjid, Samarinda Seberang. Dengan semangat saya sangat berharap setibanya di makam tersebut akan langsung bisa berjumpa dengan rekan-rekan saya, setibanya di makam ternyata sangat jauh dari apa yang saya harapkan. Tak nampak keramaian, wajah rekan-rekan yang saya bayangkan akan bertemu di lokasi seketika terhapus oleh pemandangan yang sangat nyata di pagi itu.
Tak ada keramaian, yang terlihat di kedua mataku hanyalah sebuah makam yang sunyi senyap, terik matahari semakin menambah kesunyian di halaman makam tersebut hembusan angin berjalan sangat lambat. Tak lama kemudian mataku menemukan seorang pria hitam bertubuh agak gempal sedang menyapu halaman makam tersebut. Seketika terlintas di benakku bahwa mungkin saja orang tua ini adalah penjaga makam tersebut.
Tak lama kemudian orang tua tadi masuk ke dalam, seketika makam tersebut nampak seperti awal sunyi sepi, mendadak alunan gesekan sapu ijuk itu perlahan pergi di ikuti kepergian pria tua tadi yang melangkah masuk melewati makan megah itu. makam yang megah menurutku karna sangat beda dari makam-makam pada umumnya, tak lama kemudain datanglah seorang ibu-ibu beliau adalah istri dari bapak tadi kami bedua bercerita tentang makam tersebut lumayan banyak informasi yang saya dapat dari ibu ini mulai dari penemuan makam, biaya air di tempat makam yang sudah lama nunggak, hingga fasilitas makam yang jauh dari bantuan pemerintah kota.
 seperti atap yang bocor, gajih penjaga makam yang lumayan lama tidak dibayar. Banyak ungkapan-ungkapan yg keluar dari mulut wanita paruh baya ini yang mengarah ketelinga saya seakan menggambarkan sikap apatis para pejabat terutama Pemerintah Kota yang sudah menjadi tugas bahkan kewajiban bagi mereka untuk ikut berpartisipasi merawat makam yang penuh dengan cerita itu.
Yaa, makam yang penuh dengan hal berbau mistis, makam sang legenda dari tanah Sulawesi makam yang menurut cerita adalah makam pendiri Kota Samarinda. Siapa dia? Inilah salah satu leluhur atau pendahulu kami pendiri daerah Samarendah yang seiring waktu berevolusi menjadi Kota Samarinda, suku wajo itulah suku dari sang legenda.
Membahas asal usul kota Samarinda, tak lengkap rasanya jika tak menyebut nama beliau “Lamohang Daeng Mangkona”. Pada kesempatan ini saya akan menuangkan sedikit apa yang saya ketahui tetang beliau tentunya dengan sumber informasi yang langsung saya dengar dari  juru kunci makam sang legenda.


Legenda, semua akan kita mulai dari kata ini. Legenda adalah cerita tentang asal mula suatu gejala alam. Cerita yang menghubung-hubungkan peristiwa sejarah dengan keajaiban alam. (Mohammad 1990:101). Dari kalimat ini Legenda menurut saya merupakan sebuah cerita tentang masa lampau, didalam cerita legenda banyak sekali terdapat sumber-sumber informasi bersejarah mulai dari asal mula suatu daerah, peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di zaman itu, hingga pengenalan tokoh yang berpengaruh sangat penting di suatu daerah seperti “Lamohang Daeng Mangkona”.
Legenda juga bisa menjadi rujukan bagi kita untuk mengetahui bahkan mengenal tokoh-tokoh leluhur atau pendahulu kita yang hidup di zaman dulu. Biasanya tokoh-tokoh yang terdapat dalam sebuah cerita legenda sangat jauh dari kata modern akan tetapi tokoh-tokoh di dalam legenda mempunyai kekuatan spiritual yang sangat tidak mungkin bahkan mustahil di miliki oleh manusia pada umumnya, misalnya: Sultan dari kerjaan Kutai Kartanegara yang konon mempunyai rambut yang terbuat dari kawat, Panglima burung dari suku dayak yang bisa menerbangkan Mandau bahkan menghabisi musuh dengan sendirinya dan masih banyak lagi.
Selain pengenalan tokoh-tokoh, legenda juga bisa menjadi rujukan bagi kita untuk mengetahui asal muasal nama asli daerah yang kita pijak sekarang ini. Seperti Kota Samarinda dahulu Kota Samarinda mempunyai nama asli “Samarendah” diberi nama Samerendah karena pada zaman dahulu semua rumah yang berada di samarinda mempunyai tinggi yang sama antara rumah satu dengan rumah yang lainnya, tak ada perbedaan tinggi bangunan rumah baik itu rumah pemimpin setempat maupun rumah penduduk biasa rasa saling menghormati bahwa semua yang berada di daerah tersebut mempunyai derajat yang sama.
Legenda dapat di golongkan menjadi empat golongan yaitu, legenda keagamaan, legenda alam gaib, legenda perseorangan, dan legenda setempat.
Legenda keagamaan biasanya bercerita tentang orang yang taat beragama atau orang ahli agama. Seperti: Sunan Ampel, Sunan Kalijaga, Wali Songo, dll.
Legenda alam gaib biasanya bercerita atau bertuliskan tentang hal-hal yang mengandung mistis yang berhubungan dengan alam lain, biasanya legenda jenis ini mengandung takhayul yang menjadi kepercayaan bahkan di pegang teguh oleh warga sekitar.
Legenda perseorangan legenda jenis ini benar-benar pernah terjadi seperti legenda sang
pendiri kota Samarinda tadi Lamohang Daeng Mangkona. Legenda ini berfokus pada seseorang  yang biasa ada dalam sejarah tapi ceritanya sudah di bumbui dengan hal-hal fantastis.
Legenda setempat yaitu cerita yang berhubungan dengan suatu tempat, bisa jadi asal muasal suatu tempat seperti: danau toba, tangkuban perahu, dll.
Cerita dalam legenda bisa saja berubah sesuai dengan tempatnya masing-masing karna, legenda sangat kerap sekali di ceritakan dari mulut ke mulut. Sehingga dalam satu cerita legenda bisa memiliki banyak versi cerita.
akan selalu ada pertambahan legenda di dunia ini. Legenda akan selalu tercipta di setiap zamannya jika di zaman dahulu ada legenda seperti Danau Toba, Tangkuban Perahu. Maka zaman modern juga mempunyai legendanya sendiri seperti legenda dari benua Amerika, tepatnya di negara Argentina dimana ada seorang pemain sepakbola yang sangat melekat dengan julukan gol tangan tuhannya yaitu Maradona. Legenda  ini tidak hanya menjadi legenda di Argentina melaikan menjadi legenda dunia, legenda ini juga termasuk dalam jenis legenda perseorangan karna berfokus kepada satu orang yaitu Maradona. Karena sifat legena yang demikian itu ia memungkinkan untuk dijadikan sumber sejarah terutama sejarah sepakbola.

ASAL MULA KOTA SAMARINDA
            Kelahiran sebuah kota di seluruh dunia  berawal dari nucleus-nucleus atau kampung-kampung yang bergabung membentuk “kampung besar” yang kemudian di beri nama kota atau (city). Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kota (secara harfiah) sebagai:
1.      Dinding (tembok) yang mengelilingi tempat pertahanan; atau
2.      Daerah pemukiman yang terdiri atas bagunan rumah yang merupakan kesatuan tempat tinggal berbagai lapisan masyarakat.
 Kedua pengertian di atas menyiratkan gambaran sejarah kelahiran dan pemaknaan kata city. Paling tidak, menggambarkan pengertian dasar sebuah kota, yaitu ketika muncul suatu areal pemukiman dengan dikelilingi tembok, sebagai alat pertahanan serta sebagai pembatas pembeda dengan wilayah luar. Di dalamnya berdiri (atau didirikan) banyak rumah, dengan pemghuni yang beragam baik tingkat sosial maupun ekonomi. Dalam wilayah pemukiman yang  dibatasi tembok itu tinggal bersama-sama penduduk setempat dan para pendatang. Orang-orang kaya dan miskin, cendekian-cendekian dan orang-orang biasa berpendidikan sederhana.
Namun, sebagaimana juga pengertian kota, di Indonesia juga bisa berarti kestuan masyarakat hokum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan usul-usul  dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system pemerintahan NKRI (Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2005 Tentang Desa).
A.    AWALNYA KAMPUNG PENGUNGSI
Proses kelahiran dan pertumbuhan kota Samarinda pun sesuai dengan pengertian kota di atas. Cikal bakal kota Samarinda adalah kampung  yang didirikan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa (Sulawesi Selatan) di daerah Samarinda Seberang.
Sejarah lisan  menuturkan, kehadiran orang-orang Bugis Wajo di Kaltim  berawal dari pecahnya pertikaian Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin dengan Kerajaan Bone yang dipimpin oleh Kerajaan Arupalaka. Pertikaian ini kemudian pasukan Belanda yang dipimpin Laksamana Cornelis Janszoon Speelman.
Singkat cerita, Kronik Bugis (J. Noorduyn, 1995) mengisahkan, pernah terjadi pertikian tajam Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa yang dipicu perbedaan pandangan mengenai perbudakan. Raja Bone yang menerapkan ajaran Islam secara harafiah mempunyai keinginan untuk membebaskan semua orang yang “tidak bebas”, yang tidak berasal dari negeri itu,  dan mengharuskan tuan-tuan mereka menggaji orang-orng itu. pertikaian Bone-Gowa akhirnya memuncak oleh kulminasi berbagai persoalan lain. Ketika pertempuran terbuka pecah, Gowa di serang dari dua arah. Speelma menyerang dari arah laut, sementara Arupalaka dan prajuritnya menyerang dari darat. Akhirnya Kerajaan Gowa kalah dan Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani perjanjian takluk. Perjanjian ini di sebut “Perjanjian Bongaja”  yang dilakukan pada tanggal 18 November 1667.
      Sebagian orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa tidak sudi tunduk dan patuh pada isi Perjanjian Bongaja meneruskan perjuangan dan melakukan perlawanan secara bergerilya.  Adapula yang memutuskan meninggalkan  tanah kelahirannya dan pergi ke pulau-pulau lain. Di antaranya adalah rombongan La mohang Daeng Mangkona memilih meninggalkan tanah leluhurnya, melintasi Selat Makassar menuju Kerajaan Kutai Kalimantan Timur. Rombongan La Mohang Daeng Mangkona  ini cukup besar, sekitar 200 orang dan menggunakan 18 perahu.
      Kedatangan rombongan pengungsi ini di sambut baik oleh Sultan Kutai, Dipati Modjo Kusumo (1650-1686) yang saat itu bertahta di Pemarang ( sekarang Kampung Jembayan).
      Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan pengungsi tersebut diberi lokasi tempat tinggal di sekitar Kampung Melanti (Samarinda Seberang), yaitu daerah dataran rendah di tepi Sungai Mahakam yang cocok untuk usaha pertanian, perikanan, dan perdagangan.
      Di sinilah La Mohang Dang Mangkona membuka hutan dan mencetak areal persawahan tadah hujan.  Mereka juga membangun rumah-rumah rakit (lanting) yang membujur sepanjang tepian Mahakam. Rumah-rumah ini di kerjakan seraca gotong royong. Rumah-rumah yang sama tinggi, areal persawahan yang sama rendah tandah, La Mohang Daeng Mangkona pun diakui Raja Kutai sebagai pimpinan komunitas di sana dengan gelar Poa Adi.
      Orang-orang Bugis Wajo ini mulai membangun pemukiman di daerah “Samarendah” atau Samarinda itu pada Januari 1668. Yang kemudian dijadikan patokan hari jadi kota Samarinda. (Djahar Muzakir, 2007:10-17)
      Hanya sekilas pendek cerita yang bisa saya sampaikan dari beberapa sumber, mengenai asal mula perjalanan La Mohang Daeng Mangkona hingga bisa menginjakkan kakinya di kota Samarinda ini.
      Berikut adalah beberapa gambar makam La Mohang Daeng Mangkona yang saya abadikan saat berkunjung ke sana.

           
Ini adalah makam La Mohang Daeng Mangkona, di dalam area ini terdapat tiga makam. Makam ini di jaga turun temurun, makam ini pertama kali di temukan oleh Muhammad Toha. Bapak dari juru kunci yang sekarang yaitu bapak Abdilah.
Menurut cerita dari sang anak, awal mula penemuan makam ini adalah pada saat Bapak Toha(penemu pertama) ingin berkebun di sekitar area tanah tersebut, beliau menebas dan membakar rerumputan lebat yang berada di tanah itu. namun pada saat semua rumput terbakar mulailah terlihat kayu makam ini berdiri tegak awalnya beliau hanya mengira jika kayu ini adalah kayu biasa kemudian beliau membakarnya lagi, namun kayu tersebut tidak mau terbakar dan kemudian Bapak Toha mendekati kayu itu melihat secara teliti ternyata kayu itu adalah sebuah batu nisan.
Karena mengetahui itu adalah sebuah batu nisan sang juru kunci pertama membiarkannya tanpa merubuhkan. Setelah menemukan makam tersebut lalu lah juru kunci ini mengalami hal spiritual, yaitu pertemuan dengan sosok La Mohang Daeng Mangkona. Sejak saat itu Pak Toha terus merawat makam tersebut hingga akhirnya di jaga oleh anaknya yang kedua yaitu Bapak Abdillah.
Umur makam tersebut 300 tahun, semua yang berada di dalam area makam masih terjaga keasliannya hanya bangunannya saja yang mengalami perbaikan.