Minggu,
8 April 2017. Sesuai rencana yang telah kami sepakati bersama dosen pengampuh
kami Dahri Dahlan, M. Hum. Salah satu dosen dari Universitas Mulawarman,
Fakultas Ilmu Budaya. Dosen Sejarah kesusastraan Indonesia.
Kami akan melakukan kunjungan ke sebuah makam,
pagi itu langit terlihat sangat cerah
awan nampak indah dengan warna kebiruannya seakan pertanda bagi kami jika hari
yang kami pilih itu adalah hari yang baik untuk melalukan kunjungn ke makam
tersebut. Memang berat rasanya harus bangun di pagi hari, apalagi hari itu
adalah hari libur. Yaa, bagi saya hari libur adalah hari yang sangat tepat untuk
bermesraan dengan rasa ngantuk.
Tapi
apa boleh buat itu adalah hari yang telah kami sepakati bersama untuk melakukan
kunjungan ke makam tersebut, rekan-rekan saya yang tinggal di Samarinda kota
telah sepakat akan berkumpul di Fakultas Ilmu Budaya bersama dosen kami dan
melakukan perjalanan tepat pada pukul 09.00 WITA.
Saya bergegas bangun lebih cepat dari hari
libur biasanya. Karna rumah saya tidak terlalu jauh dari makam tersebut maka
saya tidak ikut berkumpul bersama di kampus. Berbagai rutinitas pagi hari saya
lakukan di rumah, saya lakukan sebelum berangkat. Waktu telah menunjukkan pukul
08.30 WITA saya yang telah siap segera bergegas menuju lokasi makam, berangkat
lebih cepat agar tidak terlambat tiba di lokasi.
Makam
ini berlokasi di JL.Mas Penghulu Kelurahan Mesjid, Samarinda Seberang. Dengan
semangat saya sangat berharap setibanya di makam tersebut akan langsung bisa
berjumpa dengan rekan-rekan saya, setibanya di makam ternyata sangat jauh dari apa
yang saya harapkan. Tak nampak keramaian, wajah rekan-rekan yang saya bayangkan
akan bertemu di lokasi seketika terhapus oleh pemandangan yang sangat nyata di
pagi itu.
Tak
ada keramaian, yang terlihat di kedua mataku hanyalah sebuah makam yang sunyi
senyap, terik matahari semakin menambah kesunyian di halaman makam tersebut hembusan
angin berjalan sangat lambat. Tak lama kemudian mataku menemukan seorang pria
hitam bertubuh agak gempal sedang menyapu halaman makam tersebut. Seketika
terlintas di benakku bahwa mungkin saja orang tua ini adalah penjaga makam
tersebut.
Tak
lama kemudian orang tua tadi masuk ke dalam, seketika makam tersebut nampak
seperti awal sunyi sepi, mendadak alunan gesekan sapu ijuk itu perlahan pergi
di ikuti kepergian pria tua tadi yang melangkah masuk melewati makan megah itu.
makam yang megah menurutku karna sangat beda dari makam-makam pada umumnya, tak
lama kemudain datanglah seorang ibu-ibu beliau adalah istri dari bapak tadi
kami bedua bercerita tentang makam tersebut lumayan banyak informasi yang saya
dapat dari ibu ini mulai dari penemuan makam, biaya air di tempat makam yang
sudah lama nunggak, hingga fasilitas makam yang jauh dari bantuan pemerintah
kota.
seperti atap yang bocor, gajih penjaga makam
yang lumayan lama tidak dibayar. Banyak ungkapan-ungkapan yg keluar dari mulut
wanita paruh baya ini yang mengarah ketelinga saya seakan menggambarkan sikap
apatis para pejabat terutama Pemerintah Kota yang sudah menjadi tugas bahkan
kewajiban bagi mereka untuk ikut berpartisipasi merawat makam yang penuh dengan
cerita itu.
Yaa,
makam yang penuh dengan hal berbau mistis, makam sang legenda dari tanah
Sulawesi makam yang menurut cerita adalah makam pendiri Kota Samarinda. Siapa
dia? Inilah salah satu leluhur atau pendahulu kami pendiri daerah Samarendah
yang seiring waktu berevolusi menjadi Kota Samarinda, suku wajo itulah suku
dari sang legenda.
Membahas
asal usul kota Samarinda, tak lengkap rasanya jika tak menyebut nama beliau
“Lamohang Daeng Mangkona”. Pada kesempatan ini saya akan menuangkan sedikit apa
yang saya ketahui tetang beliau tentunya dengan sumber informasi yang langsung
saya dengar dari juru kunci makam sang
legenda.
Legenda,
semua akan kita mulai dari kata ini. Legenda adalah cerita tentang asal mula
suatu gejala alam. Cerita yang menghubung-hubungkan peristiwa sejarah dengan
keajaiban alam. (Mohammad 1990:101). Dari kalimat ini Legenda menurut saya
merupakan sebuah cerita tentang masa lampau, didalam cerita legenda banyak
sekali terdapat sumber-sumber informasi bersejarah mulai dari asal mula suatu
daerah, peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di zaman itu, hingga
pengenalan tokoh yang berpengaruh sangat penting di suatu daerah seperti
“Lamohang Daeng Mangkona”.
Legenda
juga bisa menjadi rujukan bagi kita untuk mengetahui bahkan mengenal
tokoh-tokoh leluhur atau pendahulu kita yang hidup di zaman dulu. Biasanya
tokoh-tokoh yang terdapat dalam sebuah cerita legenda sangat jauh dari kata
modern akan tetapi tokoh-tokoh di dalam legenda mempunyai kekuatan spiritual
yang sangat tidak mungkin bahkan mustahil di miliki oleh manusia pada umumnya,
misalnya: Sultan dari kerjaan Kutai Kartanegara yang konon mempunyai rambut
yang terbuat dari kawat, Panglima burung dari suku dayak yang bisa menerbangkan
Mandau bahkan menghabisi musuh dengan sendirinya dan masih banyak lagi.
Selain
pengenalan tokoh-tokoh, legenda juga bisa menjadi rujukan bagi kita untuk
mengetahui asal muasal nama asli daerah yang kita pijak sekarang ini. Seperti
Kota Samarinda dahulu Kota Samarinda mempunyai nama asli “Samarendah” diberi
nama Samerendah karena pada zaman dahulu semua rumah yang berada di samarinda
mempunyai tinggi yang sama antara rumah satu dengan rumah yang lainnya, tak ada
perbedaan tinggi bangunan rumah baik itu rumah pemimpin setempat maupun rumah
penduduk biasa rasa saling menghormati bahwa semua yang berada di daerah tersebut
mempunyai derajat yang sama.
Legenda
dapat di golongkan menjadi empat golongan yaitu, legenda keagamaan, legenda
alam gaib, legenda perseorangan, dan legenda setempat.
Legenda
keagamaan biasanya bercerita tentang orang yang taat beragama atau orang ahli
agama. Seperti: Sunan Ampel, Sunan Kalijaga, Wali Songo, dll.
Legenda
alam gaib biasanya bercerita atau bertuliskan tentang hal-hal yang mengandung
mistis yang berhubungan dengan alam lain, biasanya legenda jenis ini mengandung
takhayul yang menjadi kepercayaan bahkan di pegang teguh oleh warga sekitar.
Legenda
perseorangan legenda jenis ini benar-benar pernah terjadi seperti legenda sang
pendiri
kota Samarinda tadi Lamohang Daeng Mangkona. Legenda ini berfokus pada
seseorang yang biasa ada dalam sejarah
tapi ceritanya sudah di bumbui dengan hal-hal fantastis.
Legenda
setempat yaitu cerita yang berhubungan dengan suatu tempat, bisa jadi asal
muasal suatu tempat seperti: danau toba, tangkuban perahu, dll.
Cerita
dalam legenda bisa saja berubah sesuai dengan tempatnya masing-masing karna,
legenda sangat kerap sekali di ceritakan dari mulut ke mulut. Sehingga dalam
satu cerita legenda bisa memiliki banyak versi cerita.
akan
selalu ada pertambahan legenda di dunia ini. Legenda akan selalu tercipta di
setiap zamannya jika di zaman dahulu ada legenda seperti Danau Toba, Tangkuban
Perahu. Maka zaman modern juga mempunyai legendanya sendiri seperti legenda
dari benua Amerika, tepatnya di negara Argentina dimana ada seorang pemain
sepakbola yang sangat melekat dengan julukan gol tangan tuhannya yaitu
Maradona. Legenda ini tidak hanya
menjadi legenda di Argentina melaikan menjadi legenda dunia, legenda ini juga
termasuk dalam jenis legenda perseorangan karna berfokus kepada satu orang
yaitu Maradona. Karena sifat legena yang demikian itu ia memungkinkan untuk
dijadikan sumber sejarah terutama sejarah sepakbola.
ASAL
MULA KOTA SAMARINDA
Kelahiran sebuah kota di seluruh
dunia berawal dari nucleus-nucleus atau kampung-kampung yang bergabung membentuk
“kampung besar” yang kemudian di beri nama kota atau (city). Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kota (secara
harfiah) sebagai:
1. Dinding
(tembok) yang mengelilingi tempat pertahanan; atau
2. Daerah
pemukiman yang terdiri atas bagunan rumah yang merupakan kesatuan tempat
tinggal berbagai lapisan masyarakat.
Kedua pengertian di atas menyiratkan gambaran
sejarah kelahiran dan pemaknaan kata city.
Paling tidak, menggambarkan pengertian dasar sebuah kota, yaitu ketika muncul
suatu areal pemukiman dengan dikelilingi tembok, sebagai alat pertahanan serta
sebagai pembatas pembeda dengan wilayah luar. Di dalamnya berdiri (atau
didirikan) banyak rumah, dengan pemghuni yang beragam baik tingkat sosial
maupun ekonomi. Dalam wilayah pemukiman yang
dibatasi tembok itu tinggal bersama-sama penduduk setempat dan para
pendatang. Orang-orang kaya dan miskin, cendekian-cendekian dan orang-orang
biasa berpendidikan sederhana.
Namun, sebagaimana juga pengertian kota,
di Indonesia juga bisa berarti kestuan masyarakat hokum yang memiliki batas-batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat, berdasarkan usul-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system pemerintahan NKRI
(Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2005 Tentang Desa).
A. AWALNYA
KAMPUNG PENGUNGSI
Proses
kelahiran dan pertumbuhan kota Samarinda pun sesuai dengan pengertian kota di
atas. Cikal bakal kota Samarinda adalah kampung
yang didirikan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa (Sulawesi
Selatan) di daerah Samarinda Seberang.
Sejarah lisan menuturkan, kehadiran orang-orang Bugis Wajo
di Kaltim berawal dari pecahnya
pertikaian Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin dengan Kerajaan
Bone yang dipimpin oleh Kerajaan Arupalaka. Pertikaian ini kemudian pasukan
Belanda yang dipimpin Laksamana Cornelis Janszoon Speelman.
Singkat cerita, Kronik
Bugis (J. Noorduyn, 1995) mengisahkan, pernah terjadi pertikian tajam Kerajaan
Bone dan Kerajaan Gowa yang dipicu perbedaan pandangan mengenai perbudakan.
Raja Bone yang menerapkan ajaran Islam secara harafiah mempunyai keinginan
untuk membebaskan semua orang yang “tidak bebas”, yang tidak berasal dari
negeri itu, dan mengharuskan tuan-tuan
mereka menggaji orang-orng itu. pertikaian Bone-Gowa akhirnya memuncak oleh
kulminasi berbagai persoalan lain. Ketika pertempuran terbuka pecah, Gowa di
serang dari dua arah. Speelma menyerang dari arah laut, sementara Arupalaka dan
prajuritnya menyerang dari darat. Akhirnya Kerajaan Gowa kalah dan Sultan
Hasanuddin dipaksa menandatangani perjanjian takluk. Perjanjian ini di sebut
“Perjanjian Bongaja” yang dilakukan pada
tanggal 18 November 1667.
Sebagian orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa tidak sudi tunduk
dan patuh pada isi Perjanjian Bongaja meneruskan perjuangan dan melakukan
perlawanan secara bergerilya. Adapula
yang memutuskan meninggalkan tanah
kelahirannya dan pergi ke pulau-pulau lain. Di antaranya adalah rombongan La
mohang Daeng Mangkona memilih meninggalkan tanah leluhurnya, melintasi Selat
Makassar menuju Kerajaan Kutai Kalimantan Timur. Rombongan La Mohang Daeng
Mangkona ini cukup besar, sekitar 200
orang dan menggunakan 18 perahu.
Kedatangan rombongan pengungsi ini di sambut baik oleh Sultan
Kutai, Dipati Modjo Kusumo (1650-1686) yang saat itu bertahta di Pemarang (
sekarang Kampung Jembayan).
Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan
pengungsi tersebut diberi lokasi tempat tinggal di sekitar Kampung Melanti (Samarinda
Seberang), yaitu daerah dataran rendah di tepi Sungai Mahakam yang cocok untuk
usaha pertanian, perikanan, dan perdagangan.
Di sinilah La Mohang Dang Mangkona membuka hutan dan mencetak
areal persawahan tadah hujan. Mereka
juga membangun rumah-rumah rakit (lanting) yang membujur sepanjang tepian
Mahakam. Rumah-rumah ini di kerjakan seraca gotong royong. Rumah-rumah yang
sama tinggi, areal persawahan yang sama rendah tandah, La Mohang Daeng Mangkona
pun diakui Raja Kutai sebagai pimpinan komunitas di sana dengan gelar Poa Adi.
Orang-orang Bugis Wajo ini mulai membangun pemukiman di daerah
“Samarendah” atau Samarinda itu pada Januari 1668. Yang kemudian dijadikan
patokan hari jadi kota Samarinda. (Djahar Muzakir, 2007:10-17)
Hanya sekilas pendek cerita yang bisa saya sampaikan dari
beberapa sumber, mengenai asal mula perjalanan La Mohang Daeng Mangkona hingga
bisa menginjakkan kakinya di kota Samarinda ini.
Berikut adalah beberapa gambar makam La Mohang Daeng Mangkona
yang saya abadikan saat berkunjung ke sana.

Ini
adalah makam La Mohang Daeng Mangkona, di dalam area ini terdapat tiga makam.
Makam ini di jaga turun temurun, makam ini pertama kali di temukan oleh
Muhammad Toha. Bapak dari juru kunci yang sekarang yaitu bapak Abdilah.
Menurut
cerita dari sang anak, awal mula penemuan makam ini adalah pada saat Bapak
Toha(penemu pertama) ingin berkebun di sekitar area tanah tersebut, beliau
menebas dan membakar rerumputan lebat yang berada di tanah itu. namun pada saat
semua rumput terbakar mulailah terlihat kayu makam ini berdiri tegak awalnya
beliau hanya mengira jika kayu ini adalah kayu biasa kemudian beliau
membakarnya lagi, namun kayu tersebut tidak mau terbakar dan kemudian Bapak
Toha mendekati kayu itu melihat secara teliti ternyata kayu itu adalah sebuah
batu nisan.
Karena
mengetahui itu adalah sebuah batu nisan sang juru kunci pertama membiarkannya
tanpa merubuhkan. Setelah menemukan makam tersebut lalu lah juru kunci ini
mengalami hal spiritual, yaitu pertemuan dengan sosok La Mohang Daeng Mangkona.
Sejak saat itu Pak Toha terus merawat makam tersebut hingga akhirnya di jaga
oleh anaknya yang kedua yaitu Bapak Abdillah.
Umur
makam tersebut 300 tahun, semua yang berada di dalam area makam masih terjaga
keasliannya hanya bangunannya saja yang mengalami perbaikan.

Dan
ini adalah makam dari pengikut beliau yang di perkirakan berjumlah 200 orang,
belum dikatahui secara pasti kapan beliau wafat tetapi setiap tanggal 21
Januari setiap hari lahir kota Samarinda dirayakan beliau selalu diperingati.
La
Mohang Daeng Mangkona adalah seorang yang beragama Islam begitu pula dengan
para pengikutnya, menurut cerita dari sang juru kunci beliau juga ikut berperan
dalam menyebarkan agama Islam pada massanya.
Sejak
tanggal 1 Januari 1957 kota Samarinda resmi menjadi ibu kota Propinsi
Kalimantan Timur, yang terletak di pinggir sungai Mahakam. (Tjilik Riwut,
1979:63).
Tentunya
sangat banyak harapan untuk Cagar Budaya Nasional ini, semoga tidak hanya
menjadi sebuah makam kuno tetapi juga bisa bermanfaat bagi putra-putri daerah
untuk terus menggali bahkan mengulas lebih dalam tentang riwayat sang legenda.
Begitu
juga dengan Pemerintah kota Samarinda bisa berpartisipasi dalam hal menjaga,
merawat dan juga melestarikan peninggalan leluhur kita. Menjamin kesejahteraan
penjaga makam, memperhatikan property di sekitar makam tanpa harus membebankan
biaya kepada sang juru kunci yang dengan setia bahkan sangat ikhlas mengabdi
kepada negeri ikut berpastisipasi secara langsung menjaga warisan budaya bangsa
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar