Selasa, 18 April 2017

Jejak Sang Leluhur




Minggu, 8 April 2017. Sesuai rencana yang telah kami sepakati bersama dosen pengampuh kami Dahri Dahlan, M. Hum. Salah satu dosen dari Universitas Mulawarman, Fakultas Ilmu Budaya. Dosen Sejarah kesusastraan Indonesia.
 Kami akan melakukan kunjungan ke sebuah makam, pagi itu  langit terlihat sangat cerah awan nampak indah dengan warna kebiruannya seakan pertanda bagi kami jika hari yang kami pilih itu adalah hari yang baik untuk melalukan kunjungn ke makam tersebut. Memang berat rasanya harus bangun di pagi hari, apalagi hari itu adalah hari libur. Yaa, bagi saya hari libur adalah hari yang sangat tepat untuk bermesraan dengan rasa ngantuk.
Tapi apa boleh buat itu adalah hari yang telah kami sepakati bersama untuk melakukan kunjungan ke makam tersebut, rekan-rekan saya yang tinggal di Samarinda kota telah sepakat akan berkumpul di Fakultas Ilmu Budaya bersama dosen kami dan melakukan perjalanan tepat pada pukul 09.00 WITA.
 Saya bergegas bangun lebih cepat dari hari libur biasanya. Karna rumah saya tidak terlalu jauh dari makam tersebut maka saya tidak ikut berkumpul bersama di kampus. Berbagai rutinitas pagi hari saya lakukan di rumah, saya lakukan sebelum berangkat. Waktu telah menunjukkan pukul 08.30 WITA saya yang telah siap segera bergegas menuju lokasi makam, berangkat lebih cepat agar tidak terlambat tiba di lokasi.
Makam ini berlokasi di JL.Mas Penghulu Kelurahan Mesjid, Samarinda Seberang. Dengan semangat saya sangat berharap setibanya di makam tersebut akan langsung bisa berjumpa dengan rekan-rekan saya, setibanya di makam ternyata sangat jauh dari apa yang saya harapkan. Tak nampak keramaian, wajah rekan-rekan yang saya bayangkan akan bertemu di lokasi seketika terhapus oleh pemandangan yang sangat nyata di pagi itu.
Tak ada keramaian, yang terlihat di kedua mataku hanyalah sebuah makam yang sunyi senyap, terik matahari semakin menambah kesunyian di halaman makam tersebut hembusan angin berjalan sangat lambat. Tak lama kemudian mataku menemukan seorang pria hitam bertubuh agak gempal sedang menyapu halaman makam tersebut. Seketika terlintas di benakku bahwa mungkin saja orang tua ini adalah penjaga makam tersebut.
Tak lama kemudian orang tua tadi masuk ke dalam, seketika makam tersebut nampak seperti awal sunyi sepi, mendadak alunan gesekan sapu ijuk itu perlahan pergi di ikuti kepergian pria tua tadi yang melangkah masuk melewati makan megah itu. makam yang megah menurutku karna sangat beda dari makam-makam pada umumnya, tak lama kemudain datanglah seorang ibu-ibu beliau adalah istri dari bapak tadi kami bedua bercerita tentang makam tersebut lumayan banyak informasi yang saya dapat dari ibu ini mulai dari penemuan makam, biaya air di tempat makam yang sudah lama nunggak, hingga fasilitas makam yang jauh dari bantuan pemerintah kota.
 seperti atap yang bocor, gajih penjaga makam yang lumayan lama tidak dibayar. Banyak ungkapan-ungkapan yg keluar dari mulut wanita paruh baya ini yang mengarah ketelinga saya seakan menggambarkan sikap apatis para pejabat terutama Pemerintah Kota yang sudah menjadi tugas bahkan kewajiban bagi mereka untuk ikut berpartisipasi merawat makam yang penuh dengan cerita itu.
Yaa, makam yang penuh dengan hal berbau mistis, makam sang legenda dari tanah Sulawesi makam yang menurut cerita adalah makam pendiri Kota Samarinda. Siapa dia? Inilah salah satu leluhur atau pendahulu kami pendiri daerah Samarendah yang seiring waktu berevolusi menjadi Kota Samarinda, suku wajo itulah suku dari sang legenda.
Membahas asal usul kota Samarinda, tak lengkap rasanya jika tak menyebut nama beliau “Lamohang Daeng Mangkona”. Pada kesempatan ini saya akan menuangkan sedikit apa yang saya ketahui tetang beliau tentunya dengan sumber informasi yang langsung saya dengar dari  juru kunci makam sang legenda.


Legenda, semua akan kita mulai dari kata ini. Legenda adalah cerita tentang asal mula suatu gejala alam. Cerita yang menghubung-hubungkan peristiwa sejarah dengan keajaiban alam. (Mohammad 1990:101). Dari kalimat ini Legenda menurut saya merupakan sebuah cerita tentang masa lampau, didalam cerita legenda banyak sekali terdapat sumber-sumber informasi bersejarah mulai dari asal mula suatu daerah, peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di zaman itu, hingga pengenalan tokoh yang berpengaruh sangat penting di suatu daerah seperti “Lamohang Daeng Mangkona”.
Legenda juga bisa menjadi rujukan bagi kita untuk mengetahui bahkan mengenal tokoh-tokoh leluhur atau pendahulu kita yang hidup di zaman dulu. Biasanya tokoh-tokoh yang terdapat dalam sebuah cerita legenda sangat jauh dari kata modern akan tetapi tokoh-tokoh di dalam legenda mempunyai kekuatan spiritual yang sangat tidak mungkin bahkan mustahil di miliki oleh manusia pada umumnya, misalnya: Sultan dari kerjaan Kutai Kartanegara yang konon mempunyai rambut yang terbuat dari kawat, Panglima burung dari suku dayak yang bisa menerbangkan Mandau bahkan menghabisi musuh dengan sendirinya dan masih banyak lagi.
Selain pengenalan tokoh-tokoh, legenda juga bisa menjadi rujukan bagi kita untuk mengetahui asal muasal nama asli daerah yang kita pijak sekarang ini. Seperti Kota Samarinda dahulu Kota Samarinda mempunyai nama asli “Samarendah” diberi nama Samerendah karena pada zaman dahulu semua rumah yang berada di samarinda mempunyai tinggi yang sama antara rumah satu dengan rumah yang lainnya, tak ada perbedaan tinggi bangunan rumah baik itu rumah pemimpin setempat maupun rumah penduduk biasa rasa saling menghormati bahwa semua yang berada di daerah tersebut mempunyai derajat yang sama.
Legenda dapat di golongkan menjadi empat golongan yaitu, legenda keagamaan, legenda alam gaib, legenda perseorangan, dan legenda setempat.
Legenda keagamaan biasanya bercerita tentang orang yang taat beragama atau orang ahli agama. Seperti: Sunan Ampel, Sunan Kalijaga, Wali Songo, dll.
Legenda alam gaib biasanya bercerita atau bertuliskan tentang hal-hal yang mengandung mistis yang berhubungan dengan alam lain, biasanya legenda jenis ini mengandung takhayul yang menjadi kepercayaan bahkan di pegang teguh oleh warga sekitar.
Legenda perseorangan legenda jenis ini benar-benar pernah terjadi seperti legenda sang
pendiri kota Samarinda tadi Lamohang Daeng Mangkona. Legenda ini berfokus pada seseorang  yang biasa ada dalam sejarah tapi ceritanya sudah di bumbui dengan hal-hal fantastis.
Legenda setempat yaitu cerita yang berhubungan dengan suatu tempat, bisa jadi asal muasal suatu tempat seperti: danau toba, tangkuban perahu, dll.
Cerita dalam legenda bisa saja berubah sesuai dengan tempatnya masing-masing karna, legenda sangat kerap sekali di ceritakan dari mulut ke mulut. Sehingga dalam satu cerita legenda bisa memiliki banyak versi cerita.
akan selalu ada pertambahan legenda di dunia ini. Legenda akan selalu tercipta di setiap zamannya jika di zaman dahulu ada legenda seperti Danau Toba, Tangkuban Perahu. Maka zaman modern juga mempunyai legendanya sendiri seperti legenda dari benua Amerika, tepatnya di negara Argentina dimana ada seorang pemain sepakbola yang sangat melekat dengan julukan gol tangan tuhannya yaitu Maradona. Legenda  ini tidak hanya menjadi legenda di Argentina melaikan menjadi legenda dunia, legenda ini juga termasuk dalam jenis legenda perseorangan karna berfokus kepada satu orang yaitu Maradona. Karena sifat legena yang demikian itu ia memungkinkan untuk dijadikan sumber sejarah terutama sejarah sepakbola.

ASAL MULA KOTA SAMARINDA
            Kelahiran sebuah kota di seluruh dunia  berawal dari nucleus-nucleus atau kampung-kampung yang bergabung membentuk “kampung besar” yang kemudian di beri nama kota atau (city). Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kota (secara harfiah) sebagai:
1.      Dinding (tembok) yang mengelilingi tempat pertahanan; atau
2.      Daerah pemukiman yang terdiri atas bagunan rumah yang merupakan kesatuan tempat tinggal berbagai lapisan masyarakat.
 Kedua pengertian di atas menyiratkan gambaran sejarah kelahiran dan pemaknaan kata city. Paling tidak, menggambarkan pengertian dasar sebuah kota, yaitu ketika muncul suatu areal pemukiman dengan dikelilingi tembok, sebagai alat pertahanan serta sebagai pembatas pembeda dengan wilayah luar. Di dalamnya berdiri (atau didirikan) banyak rumah, dengan pemghuni yang beragam baik tingkat sosial maupun ekonomi. Dalam wilayah pemukiman yang  dibatasi tembok itu tinggal bersama-sama penduduk setempat dan para pendatang. Orang-orang kaya dan miskin, cendekian-cendekian dan orang-orang biasa berpendidikan sederhana.
Namun, sebagaimana juga pengertian kota, di Indonesia juga bisa berarti kestuan masyarakat hokum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan usul-usul  dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system pemerintahan NKRI (Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2005 Tentang Desa).
A.    AWALNYA KAMPUNG PENGUNGSI
Proses kelahiran dan pertumbuhan kota Samarinda pun sesuai dengan pengertian kota di atas. Cikal bakal kota Samarinda adalah kampung  yang didirikan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa (Sulawesi Selatan) di daerah Samarinda Seberang.
Sejarah lisan  menuturkan, kehadiran orang-orang Bugis Wajo di Kaltim  berawal dari pecahnya pertikaian Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin dengan Kerajaan Bone yang dipimpin oleh Kerajaan Arupalaka. Pertikaian ini kemudian pasukan Belanda yang dipimpin Laksamana Cornelis Janszoon Speelman.
Singkat cerita, Kronik Bugis (J. Noorduyn, 1995) mengisahkan, pernah terjadi pertikian tajam Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa yang dipicu perbedaan pandangan mengenai perbudakan. Raja Bone yang menerapkan ajaran Islam secara harafiah mempunyai keinginan untuk membebaskan semua orang yang “tidak bebas”, yang tidak berasal dari negeri itu,  dan mengharuskan tuan-tuan mereka menggaji orang-orng itu. pertikaian Bone-Gowa akhirnya memuncak oleh kulminasi berbagai persoalan lain. Ketika pertempuran terbuka pecah, Gowa di serang dari dua arah. Speelma menyerang dari arah laut, sementara Arupalaka dan prajuritnya menyerang dari darat. Akhirnya Kerajaan Gowa kalah dan Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani perjanjian takluk. Perjanjian ini di sebut “Perjanjian Bongaja”  yang dilakukan pada tanggal 18 November 1667.
      Sebagian orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa tidak sudi tunduk dan patuh pada isi Perjanjian Bongaja meneruskan perjuangan dan melakukan perlawanan secara bergerilya.  Adapula yang memutuskan meninggalkan  tanah kelahirannya dan pergi ke pulau-pulau lain. Di antaranya adalah rombongan La mohang Daeng Mangkona memilih meninggalkan tanah leluhurnya, melintasi Selat Makassar menuju Kerajaan Kutai Kalimantan Timur. Rombongan La Mohang Daeng Mangkona  ini cukup besar, sekitar 200 orang dan menggunakan 18 perahu.
      Kedatangan rombongan pengungsi ini di sambut baik oleh Sultan Kutai, Dipati Modjo Kusumo (1650-1686) yang saat itu bertahta di Pemarang ( sekarang Kampung Jembayan).
      Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan pengungsi tersebut diberi lokasi tempat tinggal di sekitar Kampung Melanti (Samarinda Seberang), yaitu daerah dataran rendah di tepi Sungai Mahakam yang cocok untuk usaha pertanian, perikanan, dan perdagangan.
      Di sinilah La Mohang Dang Mangkona membuka hutan dan mencetak areal persawahan tadah hujan.  Mereka juga membangun rumah-rumah rakit (lanting) yang membujur sepanjang tepian Mahakam. Rumah-rumah ini di kerjakan seraca gotong royong. Rumah-rumah yang sama tinggi, areal persawahan yang sama rendah tandah, La Mohang Daeng Mangkona pun diakui Raja Kutai sebagai pimpinan komunitas di sana dengan gelar Poa Adi.
      Orang-orang Bugis Wajo ini mulai membangun pemukiman di daerah “Samarendah” atau Samarinda itu pada Januari 1668. Yang kemudian dijadikan patokan hari jadi kota Samarinda. (Djahar Muzakir, 2007:10-17)
      Hanya sekilas pendek cerita yang bisa saya sampaikan dari beberapa sumber, mengenai asal mula perjalanan La Mohang Daeng Mangkona hingga bisa menginjakkan kakinya di kota Samarinda ini.
      Berikut adalah beberapa gambar makam La Mohang Daeng Mangkona yang saya abadikan saat berkunjung ke sana.

           
Ini adalah makam La Mohang Daeng Mangkona, di dalam area ini terdapat tiga makam. Makam ini di jaga turun temurun, makam ini pertama kali di temukan oleh Muhammad Toha. Bapak dari juru kunci yang sekarang yaitu bapak Abdilah.
Menurut cerita dari sang anak, awal mula penemuan makam ini adalah pada saat Bapak Toha(penemu pertama) ingin berkebun di sekitar area tanah tersebut, beliau menebas dan membakar rerumputan lebat yang berada di tanah itu. namun pada saat semua rumput terbakar mulailah terlihat kayu makam ini berdiri tegak awalnya beliau hanya mengira jika kayu ini adalah kayu biasa kemudian beliau membakarnya lagi, namun kayu tersebut tidak mau terbakar dan kemudian Bapak Toha mendekati kayu itu melihat secara teliti ternyata kayu itu adalah sebuah batu nisan.
Karena mengetahui itu adalah sebuah batu nisan sang juru kunci pertama membiarkannya tanpa merubuhkan. Setelah menemukan makam tersebut lalu lah juru kunci ini mengalami hal spiritual, yaitu pertemuan dengan sosok La Mohang Daeng Mangkona. Sejak saat itu Pak Toha terus merawat makam tersebut hingga akhirnya di jaga oleh anaknya yang kedua yaitu Bapak Abdillah.
Umur makam tersebut 300 tahun, semua yang berada di dalam area makam masih terjaga keasliannya hanya bangunannya saja yang mengalami perbaikan.


Dan ini adalah makam dari pengikut beliau yang di perkirakan berjumlah 200 orang, belum dikatahui secara pasti kapan beliau wafat tetapi setiap tanggal 21 Januari setiap hari lahir kota Samarinda dirayakan beliau selalu diperingati.
La Mohang Daeng Mangkona adalah seorang yang beragama Islam begitu pula dengan para pengikutnya, menurut cerita dari sang juru kunci beliau juga ikut berperan dalam menyebarkan agama Islam pada massanya.
Sejak tanggal 1 Januari 1957 kota Samarinda resmi menjadi ibu kota Propinsi Kalimantan Timur, yang terletak di pinggir sungai Mahakam. (Tjilik Riwut, 1979:63).
Tentunya sangat banyak harapan untuk Cagar Budaya Nasional ini, semoga tidak hanya menjadi sebuah makam kuno tetapi juga bisa bermanfaat bagi putra-putri daerah untuk terus menggali bahkan mengulas lebih dalam tentang riwayat sang legenda.
Begitu juga dengan Pemerintah kota Samarinda bisa berpartisipasi dalam hal menjaga, merawat dan juga melestarikan peninggalan leluhur kita. Menjamin kesejahteraan penjaga makam, memperhatikan property di sekitar makam tanpa harus membebankan biaya kepada sang juru kunci yang dengan setia bahkan sangat ikhlas mengabdi kepada negeri ikut berpastisipasi secara langsung menjaga warisan budaya bangsa Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar