Selasa, 25 April 2017

PENGADILAN PUISI OLEH PAMUSUK ENESTE



                                 
                                                     PENGADILAN PUISI
                                                             OLEH PAMUSUK ENESTE


pengadilan puisi adalah suatu perbincangan tentang karya sastra(puisi) Indonesia yang di bahas dengan agak lebih santi, penuh lelucon namun serius. Pengadilan pusi ini di bentuk karena kemajemuan penyelenggara kegiatan sastra, yang monoton dari bentuk seminar, simposium, dan diskusi panel.
 Pengadilan puisi diselenggarakan oleh Yayasan Arena dan diadakan di Aula Universitas Patahyangan, Bandung, 8 September 1974 dan diikuti oleh sejumlah pengarang di Indonesia. Dalam acara ini Slamet Kirnanto yang bertindak sebagai “Jaksa” membicarakan “tuntutan” nya yang berjudul “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-akhir Ini Tidak sehat, Tidak Jelas Dan Berengsek!”
Menurut Sapardi Djoko Damono, gagasan asli Pengadilan Puisi datang dari Darmanto pada tahun 1970 dan dimaksudkan sebagai badutan. Pada tahun 1972, Darmanto mengumumkan gagasannya itu dalam karangan yang berjudul “Tentang Pengadilan Puisi”  di sebuah harian Jakarta. Dan pada tahun 1974 ggasan itu bisa diwujudkan  di Bandung, dalam Pengadilan Puisi ini Damanto bertindak sebagai “Hakim Anggota”.
Hadirnya Pengadilan Puisi ini adalah salah satu dari ketidakpuasan terhadap kehidupan puisi Indonesia pada saat itu, yang menyangkut: 1. Sistem penilaian terhadap puisi Indonesia, 2. Kritikus sasatra Indonesia, 3. Media yang memuat karya Sastra Indonesia, dan 4. Beberapa penyair Indonesia yang dianggap “mapan”.
Mereka yang banyak disebut-sebut dalam Pengadilan puisi di Bandung. Karena, dianggap “Bertanggung Jawab” terhadap kehidupan puisi Indonesia sengaja diundang  untuk berbicara dalam Jawaban Atas Pengadilan Puisi yang diselenggarakan Senat Mahasiswa Fakultas Sastra Indonesia Universitas Indonesia di Teater Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta, 21 September 1974. Sebuah acara kelanjutan dari Pengadilan Puisi di Bandung. Dalam acara ini, H. B. Jassin, M.S. Hutagalung, Goenawan Mohammad,  dan Sapardi Djoko Darmono “menjawab” tuduhan-tuduhan yang dilontarkan Slamet Kirnanto kepada mereka.
Dengan dibukukannya bahan-bahan mengenai Pengadilan Puisi dab Jawaban atas Pengadilan Puisi, paling sedikit kita memperoleh dua keuntungan. Pertama, terisilah sudah salah satu tempat yang selama ini  lowong dalam sejarah Indonesia dengan adanya buku ini, kita tidak perlu lagi kehilangan jejak. Kedua, mereka inginmengetahui seluk-beluk peristiwa tahun 1974 itu tidak perlu lagi bursusah payah mencari bahan ke sana kemari
Pada pertengahan Agustus 1974, melalui Sutardji Calzoum Bahri, Taufik Ismail menerima undangan dari Ketua Yayasan Arena Djen Amar S.H., untuk membaca sajak di Bandung dan mengikuti suatu kegiatan sastra, 8 September 1974. Dalam interlokal itu Sutardji menyebut-menyebut tentang bentuk “Pengadilan Puisi” tapi tidak jelas bagaimana itu.
Harian Kompas 4 September 1974 menyiarkan acara baca puisi di Bandung, yang di kabarkan akan disertai penyair-penyair Bandung (Wing Kardjo, Sanenot Yuliman, Saini K.M., Sutardji) dan luar kota, yaitu Muhammad Ali  (Surabaya), Darmanto Jr (Semarang), Umbu Landu Paranggai (Yogyakarta), Taufik Ismail dan Slamet Kirnanto (Jakarta). “Selama pembacaan puisi juga akan diadakan Pengadilan Puisi” tulis Kompas. “Yaitu penilaian terhadap puisi Indonesia modern, yang ditulis oleh penyair-penyair kita.” Acara ini terbuka untuk umum.
Dua jam sebelum acara dimulai, penyelenggara Djen Amar dan Sanento Yuliman menjelaskan apa yang dimaksud Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir itu. rupanya kawan-kawan di Bandung ingin mencari suatu bentuk lain dalam membicarakan kesusastraan, dalam hal puisi. Bentuk seminar symposium, diskusi panel dianggap terlau majemuk. Bagaimana kalau dicari suatu bentuk yang tidak majemuk lucu tapi bersungguh-sungguh. Menurut gagasan Darmanto, bentuk peradilan bisa memenuhi persyaratan.
Slamet Kirnanto dijadikan jaksa. Majelis hakim terdiri dari dua orang, yaitu Hakim Ketua Sanento Yuliman, didamping Hakim Darmanto Jt. Para hakim sudah duduk  (meja mereka ditutupi beledu hijau tapi tidak ada palu sidang, jadi pakai batu dibungkus Koran), dihadiri 200 orang di Aula Universitas Parahyangan.
Slamet Kirnanto membacakan tuntuttannya, yang diluar dugaaan “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-akahir Ini Tidak Sehat, Tidak Jelas Dan Berengsek!”
Dakwaan itu merupakan sebuah kejengkelan terhadap keberadaan kritik puisi, terhadap kritikus M.S. Hutagalung dan H.B. Jassin, terhadap penjagoan Subagio Sastrowardoyo oleh MSH serta penjagoan W.S. Rendra oleh HBJ, karena tidak dibicarakannnya Sutardji Calzoum Bahri dan Darmanto Jt yang dianggap membawa “gejala pembaharuan” oleh MSH dan HBJ, dan juga Horison yang “tidak mampu lagi menjalankan peranan penuh tanggung jawab”, “terjerumus menjadi majalah keluarga”, tempat tumbuh suburnya para epigon-epigon seperti Abdul Hadi.
Tuntutan berbunnyilah pertama, para kritikus yang tidak mampu lagi mengiuti perkembangan puisi mutakhir, khususnya HBJ dan MSH, harus “dipensiunkan” dari pernan yang pernah mereka miliki. Kedua, majalah sastra, khususnya Horison. Ketiga, para penyair mapan seperti Subagio, Rendra, Goenawan dan sebangsanya dilarang menulis puisi dan para epigonnya harus dikenakan hokum pembuangan, keempat dan terakhir, horizon dan Budaya Jaya harus dicabut STI nya dan yang sydah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku. Ini semua didasarkan atas “Kitab Undang-undang Hukum Puisi”.
Saksi ada dua macam, yang memberatkan dan yang meringankan tuduhan terhadap pesakitan golongan partama adalah Sutardji, Sudes Sudyanto, Abdul Hadi dan Pamusuk Eneste, kemudian golongan kedua, Saini K.M., Wing Kardjo, Adri Darmadji dan Yudhistira Ardi Nugroho.
Sutardji memberikan kesaksian, bahkan dia akan mengadakan acara pembakaran Horison majalah “diktator” ini. Sebagai kuicng lucu juga pertunjukan kesaksiannya. Abdul Hadi, yang menurut surat kabar Bandung akan menyerang Goenawan (menurut jaksa Slamet Kirnanto berita itu dibuat hadi sendiri), ternyata tidak melakukannya. Menurut Hadi sastra Indonesia buruk, belum sebagus sastra Jawa Kuno. Dia menganjurkan agar orang-orang baca sastra Jawa Kuno. Sides beranggapan bahwa sesudah Chairil tidak ada puisi ditulis lagi di Indonesia. Atas pertanyaan pembela mengenai apa yang dinamakan “siatusi berengsek dan tidak jelas” dalam persajkan dewasa ini. Adri dan Yudhistira berpendapat bahwa “puisi Indonesia baik-baik dan sehat-sehat saja badannya”.
Hakim darmanto menolaksemua tuntutan jaksa pertama, para kritikus sastra tetap di izinkan untuk menulis dan mengembangkan eksistensinya. Dengan catatan harus segera mengikuti kursus penaikan mutu dalam sekolah kritikus sastra, yang akan segera didirikan.
Kedua, para redaktur horizon tetap diizinkan terus memegang jabatan mereka selama mereka tidak merasa malu dan bila ingin mereka boleh mengundurkan diri dengan sendirinya.
Ketiga, para penyair mapan diizinkan masih diberi peluang untuk berkembang terus. Begitu juga dengan para penyair epigon boleh menulis terus dengan keharusan segera masuk Panti Asuhan atau Rumah Sakit Perawatan Epigon.
Keempat, majalah sastra Horison tidak perlu dcabut surat izin terbitnya, hanya dibelakang nama harus disertakan kata “Baru” sehingga menjadi Horison Baru masyarakat luas tetap boleh membaca sastra dn membaca puisi. Demikian keputusan Majelis Hakim.
Slamet Kirnanto menyampaikan semakin tidak sehatnya kehidupan sastra Indonesia khususnya kehidupan puisi Indonesia yang menurut pengamatannya puisi Indonesia mengalamu polusi bahkan manupilasi-manipulasi sehingga mengakibatkan tidak sehatnya puisi Indonesia, tidak jelas dan ujung-ujungnya menjadi brengsek.
Harry Aveling menyatakan bahwa Darmanto dan Sutardji Calzoum Bachri memang tidak memuaskan lapisan para pembaca sastra Indonesia. Keduanya menentang cara dan pokok menulis yang sudah biasa bagi penulis Indonesia. Dan kedua-duanya sedang menolong mancarika jalan baru, jalan ke bawah sadar, yang mempercayai kekuatan perkataan dan keindahan manusia hancur. Manusia yang hidup dengan syahwatnya, kesengsaraannya, kematiannya, yang percaya manusia sendiri adalah Tuhan.
Terjadi perdebatan antara H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung yang dimana masing-masing dari mereka saling bersaing argumen bahwa penyair pilihan mereka adalah penyair yang terbaik pada saat itu. Jassin dengan W.S. Rendra sedangkan M.S. Hutagalung dengan Subagio Sastrowardoyo,.
Hutagalung berpendapat bahwa Subagio mempunyai tema lebihbkaya dengan kehidupan masa kini, kata Hutagalung, Subagio mengalami perkambangan yang mantap terlihat dalam terlihat dala kumpulan sajaknya Simphony, Daerah Perbatasan, dan Salju. Bagi Hutagalung sajak-sajak dari Subagio sangat mengasyikkan, mengagetkan, rumit dan selalu merangsang kita untuk lebih memahami.
Dalam kesempatan itu H.B. Jassin menolak keputusan anak didiknya itu, menurutnya penyair yg terkemuka dan paling keren di masa itu adalah W.S. Rendra. Dengan alasan bahwa Rendra berhasil menggunakan gagasan yang dalam, likuk-likuk kejiwaanya yang sulit diraba dan pikiran-pikiran yang tinggi dengan kata-kata sederhana dari kehidupan sehari-hari dan imaji-imaji yang kongkret. Jassin menjatuhkan penilainnya “sedangkan kalau say abaca sajak-sajak penyair lain , seperti Goenawan dan lain-lain saya selalu bertanya-tanya apa yang dimaksud dengan kata-kata atau pelukisan abstrak itu”.
Keduanya semakin ngotot dalam perdebatan dengan mempertahankan jagoan mereka masing-masing. Hutagalung mengemukakan keberatannya  tentang sajak-sajak Rendra, baginya sajak-sajak Rendra sering tergelincir dalam permainan kata yang terlalu manis dan bombastis, penggunan kata terlalu banyak sehingga tidak subtil, dalam sajaknya pula terlalu banyak klise-klise dari Bibel. Kedua hal tersebut dilihatnya dalam sajak Masmur Mawar dan Sajak-sajak Sepatu Tua.
Lalu beredar isu bahwa H.B. Jassin sedang mengumpulkan karya-karya dan informasi tentang Rendra dan ingin membuktikan bahwa Rendra adalah penyair terbesar saat itu.
Melihat hal ini Slamet Kirnanto pun mulai anggkat bicara, menurut Slamet “apakah pendapat mereka berdua sudah berdasarkan penelitian yang mendalam atas karya-karya sastra(puisi) yang ada sekarang atau hanya sekedar pikiran-pikiran ngaco saja, setelah kedua kritikus itu absen (Hutagalung-Jassin) ke negeri Belanda. Apakah kita harus menerima begitu saja ucapan mereka berdua karena lahir dari ucapan seorang sarjana?  Apakah mereka pada tahun-tahun terakhir ini sudah mengadakan penelitian secara menyeluruh atas karya-karya yang makin tersebar luas?”
“Mungkin Hutagalung hanya tergoda dengan tingkat intelektualitas yang dimiliki Subagio yang terbyang dalam sajak-sajaknya atau alasan sandaran-sandaran puisi yang sering dikemukkan penyairnya.” Sedangkan H.B. Jassin hanya tergoda oleh popularitas Rendra saja. Ujar Slamet Kirnanto.
Popo Iskandar , seorang pelukis senior , dosen IKIP Bandung, dan salah seorang anggota Akademi Jakarta perlu ikut berbincang tentang sajak-sajak Sutardji, setelah kemunculan penyair ini di Taman Ismail Marzuki dalam rangka pembacaan sajak-sajak menimbulkan polemik di kalangan luas, ia menyatakan “Sutardji merupakan pembaharuan dalam dunia puisi Indonesia dan sekaligus merupakan penyair bersama Rendra dan Taufik Ismail merupakan tokoh penyair Indonesia sekarang ini. Walaupun dirinya tidak bisa menjadi yang paling besar diantara ketiga ini”.
 Bagaimanapun juga, mesdkipun sastra kita cukup dewasa untuk dinilai, diuji ataupun dicurigai namun, cara-cara yang dilakukan oleh Hutagalung dan Jassin dalam debat penyair nomer wahid itu menunjukkan mandeknya pemikiran dalam mengikuti perkembangan kehidupan puisi Indonesia mutakhir. Tugas penyair adalah mencipta. Hanya dengan mencipta teru-menerus penyair akan menemukan dirinya. Tapi, penyair menulis puisi bukan hanya sekedar menulis lalu dimasukkan kedalam mapnya. Mereka menulis karna hasrat ingin berkomunikasi, dimana peran publik peminat sangat besar artinya.
Kalau demikian halnya nampak sekali bahwa kehidupan kepenulisan puisi tidak sekedar menulis dan menulis. Memperdalam tingkat kedewasaan dan kesenimanannya, orang dipaksa menggelarka semacam papan catur untuk meneguhkan mazhab, jalur, kepopuleran dan lain-lain. Dalam hal demikian pastilah kita kehilangan kewajaran dan objektivitas penciptaan. Orang dengan mudah bermanipulasi, megatasnamakan penyair termuka di Indonesia.
Gejala demikian jug nampak pada satu-satunya media sastra yang disebut Horison dan Budaya Jaya . tidak mampu lagi menjalankan perannya dengan penuh tanggung jawab, nama Horison yang pada awalnya menunjukkan suatu janji memberikan prasarana terbaik unruk tumbuhnya karya-karya sastra yang kreatif dan sehat, tiba-tiba terjerumus tiba-tiba terjerumus menjadi majalah keluarga. Menjadikan isi majalah menjadi selera mereka. Tanpa member kesempatan pada penyair-penyair lainnya.
Hal ini mengakibatkan banyaknya penyair-penyair epigon dimana mereka mengikuti gaya-gaya penulis lainnya tanpa mengutamakan cirri khas mereka sendiri tentu hal ini mengundang penciptaan situsi yang tidak sehat, adapun bahaya epigon sejak tulisan Subgio Sastrowardoyo “Situasi Sastra Puisi  Sesudah Tahun 45” pada saat itu banyak epigon-epigon bermuncul dengan meniruka gaya penulisan dari beberapa peyair yaitu Chairil, Sitor, Toto Sudarto dan Rendra hal ini dapat mengahambat perkembangan kreativitas.
Seorang sastrawan muda “Kentut” mengatakan Rendra atau Goenawan dan Taufik lebih dihebohkan atau di utamakan dari pada timbulnya gejala-gejala baru dalam karya sastra (puisi)  yang mungkin belum cukup dikenal oleh masyarakat umum. Dan hal seperti ini memungkinkan terhambatnya proses perkembangan sastra(puisi) modern.
Gejala kretivitas yang nampak pada  sardono dalam tari dan teater, Danarto dalam cerpen dan seni lukis, Putu Wijaya dalam roman, cerpen dan teater,. Sutardji dan Darmanto Jt dalam puisi mereka menghancurkan sekalian yang disebut poal lama  dan mampu menimbulkan respektif ke depan dalam ciptaanya. Sardono menggali Jawa Bali, Putu menggali elemen teater Bali dan teater rakyat pada umumnya, Darmanto mencoba menangkap roh dibalik kebekuan alam budaya Jawa, Danarto  menumbuhkan sikap rohani yang murni dan batin manusia yang berhadapan dengan hakikat ketuhanan, dan Sutardji menemukan kaitannya dengan “mantera” mereka tumbuh melawan arus epigonisme.
M.S. Hutagalung “pada dasarnya Pengadilan Puisi di Bandung tidak memberikan kesan kepada saya”. Menurut Hutagalung krirtikus yang disenanmgi banyak orang ialah kritikus yang hanya menyanjung-nyanjung semua pengarang. Dan ia bukanlah kritikus seperti itu seperti katanya dalam kutipan beriku”Dan syukurlah, saya belum masuk kritikus yang di senangi oleh banyak orang”.
M.S. Hutagalung sebenarnya sudah lama sering mengemukakan mengenai sajak-sajak Sutardji yang menurutnya sudah sangan bau apak, dalam hal ini Hutagalung bukan menghina beliau mengatakan bau apak karna kelambatan kritikus untuk membicarakan Sutardji.
Hutagalung berpendapat bahwa Sutardji lah yg sebenarnya adalah seorang epigon, “kalau Sutardji sempat melihat sajak-sajak kumpulan belanda ketika berada di Rotterdam, ia akan heran betapa melimpahnya dan betapa inflasinya pembuatan sajak-sajak seperti di lakukannya. Sajak-sajak Belanda jauh lebih gila lagi”. Sajak-sajak Sutardji sebenarnya bukanlah mode pembaharuan bagi Huatgalung, karna sajak-sajak itu menjadi mode sekarang tidak hanya di Belanda, tetapi diseluruh dunia.
 Ia mengemukakan bahwa H.B. Jassin tidak naik pitam, karna ia sangat mengenal Jassin sebagai sosok kritikus yang sangat toleran terhadap pendapat orang lain. Hutagalung sangat setuju dengan pendapat Cassirer bahwa seni bukanlah permainan. Seni adalah kesungguhan dan kedewasaan, dan itulah yang membedakannya dari permainan anak-anak. Sajak main-main dan aneh mungkin menarik perhatian, tetapi hanya untuk sementara  ia tidak akan langgeng. Seni main-main hanya mungkin menjadi seni pop, tidak mungkin menjadi seni abadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar